Konsep the Greater Jakarta yang baru-baru ini diwacanakan oleh Presiden SBY akan semakin mendorong terjadinya peri-urbanisasi, yaitu perkembangan penggunaan lahan campuran desa dan kota di kawasan pinggiran sebagai wujud perluasan pembangunan yang semakin keluar dari batas-batas kota inti yang telah ditentukan. Dalam konsep Jabodetabek, secara umum, Bodetabek dapat dikategorikan sebagai kawasan pinggiran yang berperan menunjang sekaligus menyangga perkembangan Jakarta sebagai kota inti.
Kawasan pinggiran Bodetabek, yang meliputi 90% luas Jabodetabek, memiliki peran penting karena 60% penduduk Jabodetabek tinggal di sana. Dengan penambahan Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Purwakarta, di bawah payung the Greater Jakarta, luas kawasan pinggiran ini akan membengkak menjadi 16.000 km2 atau 96% dari luas keseluruhan Wilayah Metropolitan Jakarta yang baru.
Pada masa puncak pertumbuhan ekonomi dekade 1980-1990an, Indonesia merupakan penyumbang terbesar kawasan pinggiran sehingga pada diskusi ilmiah internasional dikenal konsep “desakota” yang merupakan istilah generik yang murni diserap dari Bahasa Indonesia (McGee, 1991).
Berkembangnya kawasan pinggiran menyebabkan batas-batas antara desa dan kota semakin memudar dan pemisahan antara cara hidup desa dan kota menjadi kurang relevan. Secara ekologis dan sosioekonomis, kawasan pinggiran umumnya telah terintegrasi dengan sistem kegiatan perkotaan yang terpusat di kota inti. Namun, kawasan pinggiran biasanya dapat dibedakan dengan desa ataupun kota karena pertumbuhannya relatif lebih cepat. Pertumbuhan penduduk rata-rata Bodetabek adalah 6% per tahun atau tiga kali lebih cepat dari Jakarta.
Dampak peri-urbanisasi
Peri-urbanisasi memiliki kontribusi penting bagi pembangunan ekonomi wilayah metropolitan. Sebagai contoh, 85% investasi asing (FDI) industri pengolahan di Jabodetabek berlokasi di kawasan pinggiran.
Namun, pertumbuhan yang baik ini masih dinikmati oleh hanya segelintir orang saja. Peri-urbanisasi meningkatkan jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin sehingga muncul segregasi sosial dimana kelompok menengah ke atas tinggal dalam kawasan perumahan mewah yang dkelilingi gerbang dan benteng sebagai pelindung dari ancaman keamanan. Kehidupan sosial mereka seperti terputus dari tetangga besarnya yang jauh lebih miskin, sehingga seringkali disebut gated community.
Kawasan pinggiran bak “tanah tak bertuan” di mana pemerintah tidak banyak berperan dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan. Di sana banyak perumahan maupun kawasan industri yang dibangun oleh swasta yang seringkali antara satu proyek dengan yang lainnya tidak berkoordiniasi. Akibatnya, banyak jalan terputus dan saluran tak terhubungkan. Selain itu, pembangunan tidak diikuti penyediaan infrastruktur yang memadai, sehingga menimbulkan persoalan seperti kemacetan dan banjir.
Perkembangan kawasan pinggiran seringkali mengambil alih lahan-lahan pertanian subur sehingga dapat menurunkan produktifitas pangan nasional. Selain itu, perkembangan yang tak terkendali dapat menyerobot kawasan resapan air seperti Bopunjur yang seharusnya disterilkan dari kegiatan pembangunan. Alhasil, bencana longsor maupun banjir di wilayah bawahnya terus meningkat.
Menuju the Greater Jakarta yang berkelanjutan
Dengan memperhatikan pertumbuhan kawasan pinggiran selama ini, the Greater Jakarta, dengan ataupun tanpa pernyataan SBY, lambat laun akan terbentuk dengan sendirinya. Untuk mengantisipasi berbagai dampak yang mungkin terjadi, pemerintah harus mengubah cara pandang terhadap kawasan pinggiran yang semula hanya sebagai kota-kota satelit yang berfungsi sebagai pengekor yang siap menerima saja setiap limpahan beban Jakarta. Kawasan pinggiran ke depan perlu dikembangkan dengan visi yang terspesialisasi sehingga tercipta keseimbangan dan pembagian fungsi yang jelas dengan kota intinya.
Selain itu, untuk negara sebesar Indonesia, persoalan ibukota jangka panjang tidak dapat dipecahkan dengan hanya menggeser lokasi saja karena itu sifatnya hanya menunda munculnya masalah baru di masa depan. Sudah selayaknya jika fungsi-fungsi strategis nasional dipecah sehingga tidak terkonsentrasi di satu wilayah padat yang jelas terbatas kemampuan ekologisnya. Harusnya para pemimpin bangsa ini lebih berani berkorban dan membuat keputusan besar dengan memindahkan ibukota keluar Pulau Jawa sehingga dapat mendorong upaya pemerataan pembangunan nasional dalam jangka panjang.
Untuk dapat mengendalikan perkembangan kawasan pinggiran yang begitu cepat dan dinamis, sistem penataan ruang jangan hanya terpaku dengan dokumen rencana yang seringkali terlalu kaku dan kurang realistis. Penerapan rencana ini perlu dipadukan dengan sistem diskresi/konsensus pada setiap tingkatan pemerintahan sehingga muncul solusi yang lebih adaptif, inovatif, dan sensitif dengan kekhasan masing-masing kasus.
Kawasan pinggiran secara fungsional bersifat lintas administrasi, sehingga banyak persoalan sesungguhnya muncul pada skala wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu didorong dan difasilitasi terciptanya kerja sama antar daerah dalam wilayah metropolitan. Kerja sama yang membuahkan hasil yang konkret biasanya berangkat identifikasi kebutuhan transaksional antar daerah yang terkait sehingga muncul hubungan simbiotik yang dapat dituangkan dalam skema kerja sama yang saling menguntungkan. Untuk konteks Jakarta dan sekitarnya, beberapa isu strategis yang dapat diangkat antara lain sistem tata air dan pengendalian banjir, transportasi massal, dan persampahan.
Di era desentralisasi seperti sekarang ini, pada akhirnya, pemerintah daerah merupakan ujung tombak dari setiap penerapan kebijakan tata ruang perkotaan. Untuk itu, kapasitas lembaga dan aparat daerah di kawasan pinggiran perlu ditingkatkan agar dapat mengikuti tantangan perubahan fisik dan sosial ekonomi kawasan pinggiran yang kompleks dan seringkali penuh ketidakpastian.
Friday, January 21, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment