Friday, June 01, 2007

Jawaban Terhadap Matinya Teori Pembangunan

Pada kolom Opini Kompas tanggal 16 Mei 2007, Meuthia Ganie-Rochman berpendapat bahwa dimensi teoritis-kontekstual dalam riset-riset bidang pembangunan, dan bidang-bidang pengetahuan sosial pada umumnya, telah memudar seiring dengan menguatnya pengaruh kekuatan eksternal di luar tatanan konsep modernisme. Secara politis, pendapat tersebut dapat didukung mengingat keterlibatan lembaga-lembaga dan negara-negara donor telah memaksa para peneliti untuk mengarahkan tema-tema riset mereka agar sesuai dengan kepentingan lembaga-lembaga tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan tatanan nilai masyarakat dan negara kita.

Namun, secara substansi, pendapat bahwa teori-teori mendasar dalam pembangunan telah ditinggalkan oleh para peneliti kita masih perlu diperdebatkan. Sebagaimana Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear, tetapi mengalami revolusi melalui ‘pergeseran-pergeseran paradigma’. Paradigma baru muncul sebagai perspektif baru yang tidak dapat dibandingkan dengan cara pandang paradigma lama. Menurut teori ‘falsifikasi’, teori baru muncul dengan memperlihatkan kesalahan-kesalahan pada teori lama.

Begitupun bergesernya perhatian riset-riset pembangunan ke aspek-aspek sosial merupakan jawaban atas kegagalan teori-teori pembangunan konvensional yang lebih mengedepankan substansi permukaan. Teori-teori terdahulu menganggap manusia sebagai objek dalam pembangunan yang dapat dimodelkan secara matematis sebagaimana peneliti Ilmu Pasti mampu merekayasa fenomena alam. Dalam kenyataannya, fenomena sosial jauh lebih rumit dari sekedar angka-angka.

Kesuksesan pembangunan pun tidak hanya dapat dilihat dari parameter ekonomi dan perkembangan wilayah semata. Banyak parameter yang lebih mendasar yang tidak mampu dijelaskan oleh teori-teori konvensional, misalnya kesamaan hak untuk beraktualisasi, pemberdayaan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan pembangunan manusia seutuhnya.

Institusi, Struktur, dan Organisasi Pembangunan

Secanggih apapun model dan skema pembangunan yang dirancang, tetap tidak akan berhasil guna jika tidak didukung oleh kerangka institusi yang siap dan sesuai. Atas dasar inilah aspek institusi menjadi penting dalam teori pembangunan. Institusi disini tidak dapat diartikan secara sempit sebagai sistem lembaga formal saja, tetapi mencakup seluruh sistem aturan, prosedur, nilai, norma, dan budaya, baik formal maupun informal. Institusi tersebut berperan dalam memberikan kerangka kerja dan makna dalam tindakan kolektif pembangunan. Institusi ini diantaranya dapat dibangun melalui pelibatan para pemangku kepentingan, penguatan jejaring, dan modal sosial.

Institusi pada dasarnya merupakan prakondisi kontekstual yang menjembatani keberhasilan upaya-upaya pembangunan. Hal ini bertentangan dengan pendapat artikel tersebut yang menyatakan bahwa riset-riset terkini menjauh dari perhatian terhadap konteks. Pengetahuan tentang institusi sesungguhnya melekat pada latar di mana studi tersebut dilakukan.

Untuk itu, bukti yang sangat spesifik justru diperlukan untuk mengembangkan teori-teori. Bahkan, teori tersebut seringkali diperoleh dari pengetahuan yang ekstensif di lapangan, bukan sekedar pernyataan tanpa data yang akurat. Teori tersebut juga seringkali bersifat sangat mendasar mengenai pemahaman fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang sesungguhnya; bukan sekedar rekayasa atau penyederhanaan.

Teori institusi tidak menghiraukan keberadaan struktur sosio-ekonomi yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagaimana Anthony Giddens mengutarakan dalam bukunya The Constitution of Society (1984) bahwa struktur tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perilaku kolektif masyarakat. Individu maupun organisasi selalu bertindak dalam pengaruh struktur yang ada di sekitarnya. Namun, struktur tersebut tidaklah abadi. Individu, organisasi, dan masyarakat dapat mengubahnya supaya lebih kondusif untuk pembangunan yang lebih baik. Sebagaimana halnya budaya korupsi yang sudah melembaga dalam masyarakat kita sebenarnya dapat diubah, karena itu pun merupakan ciptaan unsur-unsur yang terlibat dalam pembangunan itu sendiri.

Pemahaman konstruktif ini tidaklah berupaya lari dari subjek-subjek pokok pembangunan karena, sebagaimana menurut Patsy Healey, subjek-subjek tersebut pada dasarnya tidaklah permanen dan diciptakan secara bersama-sama oleh unsur-unsur pelaksana pembangunan itu sendiri.

Kita pun perlu memahami bahwa pada jaman ‘risk society’ seperti sekarang ini, permasalahan pembangunan semakin rumit dan berada di luar jangkauan sistem lembaga modern (negara) semata. Oleh sebab itu, pemahaman tentang institusi kian berkembang menjauh dari doktrin medernisme yang memposisikan negara beserta atributnya sebagai satu-satunya sumber kerangka tindakan kolektif. Demi keberhasilan pembangunan, pemerintah harus secara cermat merangkul berbagai unsur lain, termasuk di dalamnya masyarakat dan sektor swasta.

Ketiganya harus saling mengisi kekurangan masing-masing. Pemerintah harus memanfaatkan posisi legitimasinya dengan baik sebagai pelindung, pengayom, dan wakil sah rakyat. Sektor swasta perlu dilibatkan sebagai alternatif sumber daya pembangunan, terutama sebagai sumber inovasi, teknologi, dan dana. Sementara itu, masyarakat perlu diberdayakan sebagai ujung tombak dalam pembangunan itu sendiri.

Peran Riset dan Peneliti Pembangunan

Yang tidak kalah pentingnya, pembangunan harus dilaksanakan secara terencana dan sistematis. Di samping itu, pembangunan harus memiliki sasaran yang jelas dan metode yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Oleh sebab itu, riset-riset pembangunan perlu terus digalakkan supaya berbagai upaya pembangunan tersebut tidak dilakukan secara membabi buta atau hanya meniru pengalaman negara-negara lain saja yang belum tentu sesuai dengan kondisi negara kita.

Di tengah keterbatasan dana, kita pun tidak dapat memungkiri perlunya keterlibatan negara-negara dan lembaga-lembaga donor dalam pelaksanaan riset-riset pembangunan. Hal ini harus disikapi secara seimbang. Lembaga-lembaga riset harus terus meningkatkan daya tawarnya dan, pada saat yang bersamaan, lebih selektif dalam menerima bantuan agar tetap bisa menjaga originalitas visi dan misi mereka.

Selain itu, para peneliti posisinya cukup berat karena dihadapkan pada dilema antara tuntutan profesi dan moral. Pada satu sisi, mereka harus merancang riset-riset mereka agar sesuai dengan tuntutan pemberi kerja. Pada sisi lain, mereka harus menjaga netralitas hasil-hasilnya. Mereka dapat menyiasatinya dengan memisahkan antara publikasi profesional dan akademis atas hasil-hasil riset mereka. Dalam hal ini, publikasi akademis melalui jurnal, buku, dan bentuk-bentuk relevan lainnya harus semakin ditingkatkan sebagai sarana bagi para peneliti untuk menyalurkan kontribusi riset-riset mereka bagi pengembangan keilmuan dan perbaikan masyarakat.

Sunday, May 06, 2007

Living with water: Dealing with floods in Indonesia Cities

Published in The Jakarta Post on May 5, 2007

The floods that are currently affecting some areas in Bandung district and Bandung municipality have caused not only tens thousand of people to evacuate but also have threatened the economy of the region.

While we still cannot forget that about US$450 million was lost during the floods in Jakarta early this year, it is predicted that the textile industry in Majalaya has lost a great deal through the worst floods to hit the city in a decade.

Although floods have long been part of the history of Indonesia's cities, including Greater Bandung and Jakarta, innovative measures have not been adequately explored to cope with this increasing challenge.

Periodic flooding in Jakarta started in the beginning of the 17th century, when the city was first developed by the Dutch government. Today's government still relies on the old plan made by H. van Breen in order to reduce the impact. By splitting the Ciliwung River into two canals, it was expected that the inundation in parts of the city could be avoided. The West Flood Canal was completed many years ago, but the East Flood Canal has faced financial and social issues related to land releases.

Similar attempts have been made to address the annual floods in Greater Bandung. The west Java Province has been actively digging the Citarum River, which is the main river flowing throughout this valley, in order to wash out intensive sedimentation on the bed of the river. The result of this attempt is now being questioned. While this project is highly expensive, the flooding was not reduced; and became even worse, as illustrated above.

"Keeping floods away from the settlement areas" probably was a promising discourse until the early of twentieth century, when urbanization was still technically manageable. However, it is too naive to think that the current authorities still believe in the superiority of engineering measures in addressing urbanization consequences in the age of "risk society", in which collective issues are the result of complex problems beyond the control of traditional machineries.

Just like thinking of extending and building new roads, which has been proven to be unable to follow the progressive increase in the number of new cars in Jakarta. A metaphor can be applied while we are dealing with flooding. The engineers can raise the flood dams, but how high? While the budget is also very limited, the threat from flooding seems to increase infinitely.

Following growing tension over new settlements and economic activities, the discourse of "keeping settlement areas away from floods" has also been developed. This is even more ambitious, aiming to push away new development and to relocate existing economic activities from areas that are prone to flooding. Although urban growth is now being reduced outside Jakarta, much has been developed in water recharge regions, mainly south of Jakarta. These indeed have worsened the impact of flooding.

Moreover, Bandung District has long been planning to relocate the existing industrial agglomeration in the southern part of Bandung, included Majalaya. Yet this is still rhetoric with uncountable consequences. Overall, these long-term efforts need much more political will and rule of law, which have been major obstacles in Indonesia. Besides, they are still unrealistic considering the weak and inconsistent spatial planning and development control systems.

The above two discourses treat the water (floods) as the enemy. Meanwhile, it is obvious that this perspective has brought us toward a restless fight against the natural processes. If we cannot beat our enemies, then it would be more fruitful to treat them as our friends. Therefore, "living with water" could be a new promising discourse to cope with flooding in the two metropolitan regions. Residents should treat water as an integrated part of their living environment that deserves proportional attention while they are building their homes and facilities as well as using and disposing of waste.

Furthermore, the governments should include water as an essential issue in their development plans and programs. They should learn from other countries how to internalize water issues in an efficient way. For example, considering limited open spaces, municipalities in coastal Japan build sport and recreational facilities in such a way that they can retain water during heavy rainfall.

We also can learn from the Low Countries in coping with the North Sea storm in the 1950s. The Netherlands launched the Delta Works, which has been the most extensive dam ever built to hold back the storm. While this project was remarkably costly and increasingly questioned for its effectiveness, Flanders (Belgium) reacted in a different way. They preferred to give water more room to flow through, transforming cultivated areas in water catchments. While it was much cheaper, the later has proven to be more effective in the long term.

"Giving back space to the water" needs to be tried in order to address the unresolved flooding in Greater Bandung and Jakarta. The government and other organizations should continually campaign for preserving the water catchment regions, including Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) corridor and Northern Bandung. Spatial plans and development permit systems should include water assessment as one of important elements, e.g. building code, water retention, and a sanitation network, in granting permission for new developments. Last but not least, the government should develop a good mitigation system in order to avoid greater losses.

Acknowledgments: I would like to thank Dr. Jochem de Vries, Dr. Johan Woltjer, and Dr. Nanka Karstkarrel for their interesting classes of water management (2006).

Monday, April 09, 2007

World's Top 100 Research Universities

Many methods have been applied by various organisations to rank the world's top universities. This version focuses on quality of research.

Various organisations have ranked the world universities. The results varies in accordance to differences in the methodology they used. Shanghai Jiao Tong University listed Academic Ranking of World Universities 2006. It is criticised as it is biased towards natural sciences by including number of Nobel Prizes and Field Medals and articles published in Nature and Science. Besides, The Times Higher Education Supplement announced World University Rankings 2006. The later also faces criticism due to the more subjective nature of its assessment criteria, which are largely based on a 'peer review' system of 1000 academics in various fields. Both versions mainly calculated the ranking of universities based on the "size"-related criteria, i.e. number of publications, staff, and students. This can be misleading for assessing the research capacity of the universities. The "size" of university does not count the performance of research and researchers. Therefore, The University of Groningen Ranking of Research Universities attempts to fill this gap.

The ranking was based on citations per paper as an indicator of quality of research. This is a simple method but it can provide general indication for researchers and for ones who look for good research-based universities. Why? Because research
is the very basic identity for many world class universities -- off course we also cannot undermine the existence of professional universities but they are not comparable.

However, any ranking procedure using university level as unit of analysis cannot be used as a main guide to judge the quality of particular subject at certain university. It is common that each university is strong in certain parts and is weak in other sides. Therefore, someone -- someday and somehow -- probably shall rank faculties and research institutes associated with urban and regional studies (?).

Wednesday, March 21, 2007

Planning Profession under Attack?

(in bahasa)

Planning Redefined


Menurut saya ada dua penggerak kenapa planners atau lulusan planning
berusaha mengaburkan definisi planning: 1) karena sikap kritis untuk
memperbaiki kontribusi bidangnya (
planning) bagi masyarakat 2)
frustasi, ketidakpercayaan diri, sehingga mencari jalan aman geser
sana-sini untuk mencari pembenaran, haha.. maaf saya mengungkapkan ini sebagai joking saja
.

Sulit ya mendefinisikan planning, apalagi paradigmanya terus bergeser.
Mungkin jika kita sepahami kata-kata kuncinya bisa membantu. Bagaimana kalau (misalnya): interaksi ruang-manusia, intervensi kolektif,
orientasi masa depan:

1) interaksi ruang dengan manusia. Bukan berarti penataan ruang atau
penataan fisik, tp lebih ke pemahaman bahwa bidang ini memiliki fokus
perhatian pada seluruh aktifitas manusia yang berimplikasi (baik
langsung atau tidak langsung) terhadap tatanan ruang. alhasil,
pengembangan wilayah/ kota, sudah pasti masuk domain planning. Kalau
trend nya sekarang fokus ke aspek manusia nya itu sah-sah saja. Fungsi
ruang pun kian bergeser, jika dulu menjadi subjek, mungkin sekarang
atau nanti sebagai objek atau antara saja. Jadi walau bagaimana pun,
urban and regional planning tidak bisa lepas dari konteks ruang
(namanya pun urban and regional planning), tetapi perlu dipahami
secara lebih holistik tidak sekedar tata ruang-nya ala Indonesia.
tetapi Demarkasi ini penting sebagai identitas. Saya menjadi ingat
anekdot Pak Tommy, kalau kita bisa merencana segala hal, apa nanti
juga termasuk "perencanaan keluarga (KB)"? Kalau meminjam kata Pa
Ibnu, planning bukan ilmu "sapu jagat". If planning is everything, it
is nothing.

2) Public intervention (?) Mulai dipertanyakan, karena ambigu konsep
publik, dan sering terjebak dengan asosiasi pemerintah. Padahal,
pemerintah bisa jadi bukan satu-satunya aktor, atau mungkin yang
dominan bukan pemerintah. Oleh sebab itu, sebagian institusionalist
memanggilnya intervensi/ aksi kolektif. Sulit sekali dikategorikan
planning kalau tidak ada muatan, atau setidaknya visi intervensi
kolektif. Intervensi ini memiliki makna luas, rencana tata ruang
hanyalah salah satu instrumen. Bahkan, dalam diskusi teoritis pun
sudah kurang populer. kebijakan terkait ruang pun hanya salah satu
bentuk, karena banyak kebijakan/ aksi kolektif lain yang berimplikasi
terhadap ruang.

3) Future shaping (?) Ini mulai diperdebatkan urgensinya, terutama oleh
pluralists, post-modernists, karena dengan kondisi arena yang sangat
kompleks, tidak menentu, planning (seorang diri) hanyalah salah satu
dari sekian banyak kekuatan (internal dan eksternal) yang mempengaruhi
pola tatanan ruang masa depan. Tetapi tampaknya visi atau orientasi ke
masa depan tidak bisa lepas, meski hanya dalam artian jangka pendek,
sekalipun namanya (bukan planning tetapi) "resolusi konflik (ruang)"
atau "rencana tindak".

Planning as Discipline: From Demarcation to Identity

Demarkasi itu itu penting dalam profesi karena itu sebagai salah satu
wujud penghargaan bagi profesi itu sendiri.
Pembuatan demarkasi perlu jika itu diidentikkan dengan "identitas" , bukan sebagai "garis batas" . Batas bisa bergeser, bahkan menjadi tidak jelas, tetapi identitas apakah boleh hilang/ berganti? Bahkan mungkin ke depan justru akan lebih banyak pekerjaan yang lintas "batas" (disiplin) ini. Nantinya bukan perang batas antar profesi. Namun, pada akhirnya etika yang menjadi landasan dan "users" dan penerima manfaat yang menentukan siapa pantas mengerjakan apa. Inilah yang perlu dicermati.

Ini juga bisa kembali pada konteks profesi, karena menurut kamus, profesi berarti keahlian pada bidang tertentu yang memerlukan keterampilan khusus dan pembelajaran ekstensif dalam bidang/ disiplin tertentu yang spesifik, dan biasanya memiliki kode etik, sertifikasi, dan standar akuntabilitas -- tiga terakhir bisa dipahami secara lebih fleksibel. Tetapi menurut saya keahlian tersebut tidak mesti diperoleh dari pendidikan formal (universitas). Keahlian tersebut bisa diperoleh dari pengalaman praktis, autodidak, sebagaimana beberapa tokoh perencanaan (Johan Silas dkk) yang pendidikan formalnya bukan perencanaan. Yang terpenting adalah adanya serious learning, bisa jadi dalam banyak kasus practice learning lebih penting.

Namun, yang saya garis bawahi adalah pembenaran aneksasi lahan bidang lain yang tidak didasari learning tersebut atau
tidak mau terlebih dahulu melepaskan jubah profesi asalnya. Misalnya freshgraduate arsitek teknologi bangunan langsung mengerjakan proyek pengembangan wilayah, dan tetap menganggap bahwa itu perkerjaan arsitek. Ini cukup jelas. Tetapi coba kalau itu terjadi pada lulusan PL, sehari setelah lulus langsung bekerja sebagai financial manager, apakah bukan pekerjaan PL? Saya juga bingung, karena katanya PL bisa kemana2. Menurut saya itu tidak masalah dalam konteks kontribusi lulusan, perbaikan hidup lulusan, atau perbaikan masyarakat, karena tidak mesti pekerjaan sesuai dengan bidang yang ditekuni di bangku kuliah. Kuliah di PL tidak mesti setelah lulus jadi planner. Tapi dari segi masa depan keprofesian bagaimana ya? Bagaimana masyarakat, beneficiary, user, dan disiplin lain bisa meningkatkan penghargaan terhadap disiplin ini jika "kekhususannya" atau identitasnya tidak jelas? Apakah "spesialis generalist" bisa mendapatkan tempat yang baik di Indonesia?

Saya sendiri akhirnya mempertanyakan juga tentang urgensi pendidikan S1 perencanaan, terutama model sekarang, untuk konteks Indonesia, di mana institusi praktek dan profesi perencanaan belum terbangun dengan baik. Saya juga mendukung perihal kejelasan arah kurikulum. Salah satu cara efektif untuk menjawab kedua masalah tsb adalah tanyakan/ survey langsung kepada user dan penerima manfaat, karena merekalah yang pada akhirnya menentukan eksistensi kita. Saya juga prihatin dan turut malu ketika ditanya oleh beberapa calon penerima kerja tentang spesialisasi saya apa? Disuruh merencana pun tidak pede karena di bangku kuliah tidak banyak diajarkan bagaimana merencana yang baik (atau sayanya saja yang kurang serius belajar, hehe). Di suruh berpolitik pun kalah saing sama lulusan FISIP, hihi.. jadi bingung.

Perencanaan memang "meta-disiplin", tetapi bukan "multi disiplin". Saya maksud meta-disiplin adalah perencanaan mengabstraksi/menghubungkan ilmu-ilmu lain lalu mengembangkan, "reframe", "reshape"-nya menjadi bentuk yang khas sesuai kebutuhan dan secara disiplin mampu berdiri otonom. Dan bukan multi disiplin, maksudnya mencampur-campur, mengumpulkan ilmu-ilmu lain tanpa membentuk identitas baru. Sehingga pada akhirnya bisa dibedakan makna/pemahaman/cara pandang/ konotasi/ penekanan: "ruang " menurut planner dengan geographer, "infrastruktur" menurut sipil dan planner, "bangunan/ lansekap" menurut arsitek dengan planner, "penduduk" menurut demographer dan planner, "pembangunan" menurut ekonom dan planner, "keadilan" menurut sosiolog dan planner, "hukum" menurut pengacara dan planner, "kebijakan" menurut policy analyst dan planner, dst. Jika ini benar adanya, maka akan tercipta komunikasi mutual dan sinergis antara planner dengan ilmu lain, bukan perang batas.

Planning or Something Else?

Seandaipun seseorang "secara sadar" melakukan tindakan perencanaan, mereka belum tentu perencana. Tidak hanya menurut IAP, tetapi menurut komunitas profesional perencanaan (termasuk pengguna) pun belum tentu sepakat, karena perlu ada proses konsistensi nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan universal perencanaan. Ini tidak dapat diperoleh secara instan, apalagi hanya dengan "ketidaksengajaan".

Namun, memang ada kalanya seorang profesional melakukan praktek pekerjaan (secara sistematis) yang bukan di bidang asalnya, tetapi bidang itu biasanya terkait. Asumsinya, mereka melakukannya dengan "sadar" (saya coba netralisasi menjadi: sistematis, acceptable secara nilai-nilai dan proses universal perencanaan). Mungkin kita masih ingat, bahwa sesungguhnya orang yang pertama kali melakukan proses survey perencanaan (ruang) secara sistematis adalah seorang dokter.

Kearifan menerima kontribusi peran profesi lain yang serumpun/ terkait bisa menjadi nilai tambah bagi profesi bersangkutan, apalagi menyimak persoalan masa sekarang yang semakin kompleks sehingga memerlukan pendekatan multidisplin. Karena pengalaman saya di dunia praktek perencanaan masih terbatas, saya berikan contoh dalam dunia akademis/ teoritis saja. (Namun, saya berhipotesis ini pun terjadi di dunia praktis). Misalnya, Bapak T. Firman merupakan akademisi perencanaan Indonesia yang paling sering muncul hasil-hasil karyanya dalam jurnal-jurnal internasional. Namun, banyak artikel/ paper nya saya perhatikan justru lebih kental sudut pandang geografi-nya, bahkan demografi. Alhasil, sebagian paper dia dimuat di jurnal-jurnal/ seminar geografi, demografi. Namun, Beliau tetap dipandang sebagai perencana. Banyak sekali contoh akademisi perencanaan lain. misalnya B. Flijvberg di jurnal sosiologi, P. Healey di jurnal politik.

Begitupun disiplin lain menulis di jurnal terkait perencanaan. Misalnya di jurnal Urban Studies (saat ini masih sebagai salah satu jurnal yang paling tinggi citation
rate/ impact- nya dalam bidang perencanaan) ternyata sebagian besar penulisnya bukan planner, tetapi multi disiplin, mulai dari geografer, ekonom, hingga ahli politik, sosiolog. Bahkan, planner terkenal sulit menembus jurnal ini.

Kesimpulannya, interaksi lintas disiplin itu biasa, dan itu tidak hanya terjadi dalam perencanaan. Namun, sebagai salah satu ilmu yang meta-disiplin, tentu interaksi ini menjadi lebih penting kedudukannya bagi perencanaan. Saya berhipotesis dalam dunia praktek komunikasi ini seharusnya lebih intensif karena persoalan lapangan lebih sulit
untuk disistematiskan/ dipilah-pilah ini milik profesi mana.

Link: previous versions have been discussed in referensi

Tuesday, January 09, 2007

Metropolitan in Indonesia: Trends and Challenges in Spatial Planning

Original title: Metropolitan di Indonesia: Kenyataan dan Tantangan dalam Penataan Ruang
Edited by: H. Winarso & D. Hudalah
2006. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang Dep. PU

This is probably the first comprehensive book on metropolitan development and planning in Indonesia. Inviting many well known authors, it discusses trends and challenges for planning and managing of metropolitan regions in Indonesia. It covers wide range of issues included population, economy, socio-cultural aspects, rural-urban linkage, infrastructure, environmental aspects, planning law and institutions and, off course, spatial planning.

Links: You could download the electronic version for free. The printed version is also available.