Friday, June 01, 2007

Jawaban Terhadap Matinya Teori Pembangunan

Pada kolom Opini Kompas tanggal 16 Mei 2007, Meuthia Ganie-Rochman berpendapat bahwa dimensi teoritis-kontekstual dalam riset-riset bidang pembangunan, dan bidang-bidang pengetahuan sosial pada umumnya, telah memudar seiring dengan menguatnya pengaruh kekuatan eksternal di luar tatanan konsep modernisme. Secara politis, pendapat tersebut dapat didukung mengingat keterlibatan lembaga-lembaga dan negara-negara donor telah memaksa para peneliti untuk mengarahkan tema-tema riset mereka agar sesuai dengan kepentingan lembaga-lembaga tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan tatanan nilai masyarakat dan negara kita.

Namun, secara substansi, pendapat bahwa teori-teori mendasar dalam pembangunan telah ditinggalkan oleh para peneliti kita masih perlu diperdebatkan. Sebagaimana Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear, tetapi mengalami revolusi melalui ‘pergeseran-pergeseran paradigma’. Paradigma baru muncul sebagai perspektif baru yang tidak dapat dibandingkan dengan cara pandang paradigma lama. Menurut teori ‘falsifikasi’, teori baru muncul dengan memperlihatkan kesalahan-kesalahan pada teori lama.

Begitupun bergesernya perhatian riset-riset pembangunan ke aspek-aspek sosial merupakan jawaban atas kegagalan teori-teori pembangunan konvensional yang lebih mengedepankan substansi permukaan. Teori-teori terdahulu menganggap manusia sebagai objek dalam pembangunan yang dapat dimodelkan secara matematis sebagaimana peneliti Ilmu Pasti mampu merekayasa fenomena alam. Dalam kenyataannya, fenomena sosial jauh lebih rumit dari sekedar angka-angka.

Kesuksesan pembangunan pun tidak hanya dapat dilihat dari parameter ekonomi dan perkembangan wilayah semata. Banyak parameter yang lebih mendasar yang tidak mampu dijelaskan oleh teori-teori konvensional, misalnya kesamaan hak untuk beraktualisasi, pemberdayaan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan pembangunan manusia seutuhnya.

Institusi, Struktur, dan Organisasi Pembangunan

Secanggih apapun model dan skema pembangunan yang dirancang, tetap tidak akan berhasil guna jika tidak didukung oleh kerangka institusi yang siap dan sesuai. Atas dasar inilah aspek institusi menjadi penting dalam teori pembangunan. Institusi disini tidak dapat diartikan secara sempit sebagai sistem lembaga formal saja, tetapi mencakup seluruh sistem aturan, prosedur, nilai, norma, dan budaya, baik formal maupun informal. Institusi tersebut berperan dalam memberikan kerangka kerja dan makna dalam tindakan kolektif pembangunan. Institusi ini diantaranya dapat dibangun melalui pelibatan para pemangku kepentingan, penguatan jejaring, dan modal sosial.

Institusi pada dasarnya merupakan prakondisi kontekstual yang menjembatani keberhasilan upaya-upaya pembangunan. Hal ini bertentangan dengan pendapat artikel tersebut yang menyatakan bahwa riset-riset terkini menjauh dari perhatian terhadap konteks. Pengetahuan tentang institusi sesungguhnya melekat pada latar di mana studi tersebut dilakukan.

Untuk itu, bukti yang sangat spesifik justru diperlukan untuk mengembangkan teori-teori. Bahkan, teori tersebut seringkali diperoleh dari pengetahuan yang ekstensif di lapangan, bukan sekedar pernyataan tanpa data yang akurat. Teori tersebut juga seringkali bersifat sangat mendasar mengenai pemahaman fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang sesungguhnya; bukan sekedar rekayasa atau penyederhanaan.

Teori institusi tidak menghiraukan keberadaan struktur sosio-ekonomi yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagaimana Anthony Giddens mengutarakan dalam bukunya The Constitution of Society (1984) bahwa struktur tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perilaku kolektif masyarakat. Individu maupun organisasi selalu bertindak dalam pengaruh struktur yang ada di sekitarnya. Namun, struktur tersebut tidaklah abadi. Individu, organisasi, dan masyarakat dapat mengubahnya supaya lebih kondusif untuk pembangunan yang lebih baik. Sebagaimana halnya budaya korupsi yang sudah melembaga dalam masyarakat kita sebenarnya dapat diubah, karena itu pun merupakan ciptaan unsur-unsur yang terlibat dalam pembangunan itu sendiri.

Pemahaman konstruktif ini tidaklah berupaya lari dari subjek-subjek pokok pembangunan karena, sebagaimana menurut Patsy Healey, subjek-subjek tersebut pada dasarnya tidaklah permanen dan diciptakan secara bersama-sama oleh unsur-unsur pelaksana pembangunan itu sendiri.

Kita pun perlu memahami bahwa pada jaman ‘risk society’ seperti sekarang ini, permasalahan pembangunan semakin rumit dan berada di luar jangkauan sistem lembaga modern (negara) semata. Oleh sebab itu, pemahaman tentang institusi kian berkembang menjauh dari doktrin medernisme yang memposisikan negara beserta atributnya sebagai satu-satunya sumber kerangka tindakan kolektif. Demi keberhasilan pembangunan, pemerintah harus secara cermat merangkul berbagai unsur lain, termasuk di dalamnya masyarakat dan sektor swasta.

Ketiganya harus saling mengisi kekurangan masing-masing. Pemerintah harus memanfaatkan posisi legitimasinya dengan baik sebagai pelindung, pengayom, dan wakil sah rakyat. Sektor swasta perlu dilibatkan sebagai alternatif sumber daya pembangunan, terutama sebagai sumber inovasi, teknologi, dan dana. Sementara itu, masyarakat perlu diberdayakan sebagai ujung tombak dalam pembangunan itu sendiri.

Peran Riset dan Peneliti Pembangunan

Yang tidak kalah pentingnya, pembangunan harus dilaksanakan secara terencana dan sistematis. Di samping itu, pembangunan harus memiliki sasaran yang jelas dan metode yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Oleh sebab itu, riset-riset pembangunan perlu terus digalakkan supaya berbagai upaya pembangunan tersebut tidak dilakukan secara membabi buta atau hanya meniru pengalaman negara-negara lain saja yang belum tentu sesuai dengan kondisi negara kita.

Di tengah keterbatasan dana, kita pun tidak dapat memungkiri perlunya keterlibatan negara-negara dan lembaga-lembaga donor dalam pelaksanaan riset-riset pembangunan. Hal ini harus disikapi secara seimbang. Lembaga-lembaga riset harus terus meningkatkan daya tawarnya dan, pada saat yang bersamaan, lebih selektif dalam menerima bantuan agar tetap bisa menjaga originalitas visi dan misi mereka.

Selain itu, para peneliti posisinya cukup berat karena dihadapkan pada dilema antara tuntutan profesi dan moral. Pada satu sisi, mereka harus merancang riset-riset mereka agar sesuai dengan tuntutan pemberi kerja. Pada sisi lain, mereka harus menjaga netralitas hasil-hasilnya. Mereka dapat menyiasatinya dengan memisahkan antara publikasi profesional dan akademis atas hasil-hasil riset mereka. Dalam hal ini, publikasi akademis melalui jurnal, buku, dan bentuk-bentuk relevan lainnya harus semakin ditingkatkan sebagai sarana bagi para peneliti untuk menyalurkan kontribusi riset-riset mereka bagi pengembangan keilmuan dan perbaikan masyarakat.