Wednesday, March 21, 2007

Planning Profession under Attack?

(in bahasa)

Planning Redefined


Menurut saya ada dua penggerak kenapa planners atau lulusan planning
berusaha mengaburkan definisi planning: 1) karena sikap kritis untuk
memperbaiki kontribusi bidangnya (
planning) bagi masyarakat 2)
frustasi, ketidakpercayaan diri, sehingga mencari jalan aman geser
sana-sini untuk mencari pembenaran, haha.. maaf saya mengungkapkan ini sebagai joking saja
.

Sulit ya mendefinisikan planning, apalagi paradigmanya terus bergeser.
Mungkin jika kita sepahami kata-kata kuncinya bisa membantu. Bagaimana kalau (misalnya): interaksi ruang-manusia, intervensi kolektif,
orientasi masa depan:

1) interaksi ruang dengan manusia. Bukan berarti penataan ruang atau
penataan fisik, tp lebih ke pemahaman bahwa bidang ini memiliki fokus
perhatian pada seluruh aktifitas manusia yang berimplikasi (baik
langsung atau tidak langsung) terhadap tatanan ruang. alhasil,
pengembangan wilayah/ kota, sudah pasti masuk domain planning. Kalau
trend nya sekarang fokus ke aspek manusia nya itu sah-sah saja. Fungsi
ruang pun kian bergeser, jika dulu menjadi subjek, mungkin sekarang
atau nanti sebagai objek atau antara saja. Jadi walau bagaimana pun,
urban and regional planning tidak bisa lepas dari konteks ruang
(namanya pun urban and regional planning), tetapi perlu dipahami
secara lebih holistik tidak sekedar tata ruang-nya ala Indonesia.
tetapi Demarkasi ini penting sebagai identitas. Saya menjadi ingat
anekdot Pak Tommy, kalau kita bisa merencana segala hal, apa nanti
juga termasuk "perencanaan keluarga (KB)"? Kalau meminjam kata Pa
Ibnu, planning bukan ilmu "sapu jagat". If planning is everything, it
is nothing.

2) Public intervention (?) Mulai dipertanyakan, karena ambigu konsep
publik, dan sering terjebak dengan asosiasi pemerintah. Padahal,
pemerintah bisa jadi bukan satu-satunya aktor, atau mungkin yang
dominan bukan pemerintah. Oleh sebab itu, sebagian institusionalist
memanggilnya intervensi/ aksi kolektif. Sulit sekali dikategorikan
planning kalau tidak ada muatan, atau setidaknya visi intervensi
kolektif. Intervensi ini memiliki makna luas, rencana tata ruang
hanyalah salah satu instrumen. Bahkan, dalam diskusi teoritis pun
sudah kurang populer. kebijakan terkait ruang pun hanya salah satu
bentuk, karena banyak kebijakan/ aksi kolektif lain yang berimplikasi
terhadap ruang.

3) Future shaping (?) Ini mulai diperdebatkan urgensinya, terutama oleh
pluralists, post-modernists, karena dengan kondisi arena yang sangat
kompleks, tidak menentu, planning (seorang diri) hanyalah salah satu
dari sekian banyak kekuatan (internal dan eksternal) yang mempengaruhi
pola tatanan ruang masa depan. Tetapi tampaknya visi atau orientasi ke
masa depan tidak bisa lepas, meski hanya dalam artian jangka pendek,
sekalipun namanya (bukan planning tetapi) "resolusi konflik (ruang)"
atau "rencana tindak".

Planning as Discipline: From Demarcation to Identity

Demarkasi itu itu penting dalam profesi karena itu sebagai salah satu
wujud penghargaan bagi profesi itu sendiri.
Pembuatan demarkasi perlu jika itu diidentikkan dengan "identitas" , bukan sebagai "garis batas" . Batas bisa bergeser, bahkan menjadi tidak jelas, tetapi identitas apakah boleh hilang/ berganti? Bahkan mungkin ke depan justru akan lebih banyak pekerjaan yang lintas "batas" (disiplin) ini. Nantinya bukan perang batas antar profesi. Namun, pada akhirnya etika yang menjadi landasan dan "users" dan penerima manfaat yang menentukan siapa pantas mengerjakan apa. Inilah yang perlu dicermati.

Ini juga bisa kembali pada konteks profesi, karena menurut kamus, profesi berarti keahlian pada bidang tertentu yang memerlukan keterampilan khusus dan pembelajaran ekstensif dalam bidang/ disiplin tertentu yang spesifik, dan biasanya memiliki kode etik, sertifikasi, dan standar akuntabilitas -- tiga terakhir bisa dipahami secara lebih fleksibel. Tetapi menurut saya keahlian tersebut tidak mesti diperoleh dari pendidikan formal (universitas). Keahlian tersebut bisa diperoleh dari pengalaman praktis, autodidak, sebagaimana beberapa tokoh perencanaan (Johan Silas dkk) yang pendidikan formalnya bukan perencanaan. Yang terpenting adalah adanya serious learning, bisa jadi dalam banyak kasus practice learning lebih penting.

Namun, yang saya garis bawahi adalah pembenaran aneksasi lahan bidang lain yang tidak didasari learning tersebut atau
tidak mau terlebih dahulu melepaskan jubah profesi asalnya. Misalnya freshgraduate arsitek teknologi bangunan langsung mengerjakan proyek pengembangan wilayah, dan tetap menganggap bahwa itu perkerjaan arsitek. Ini cukup jelas. Tetapi coba kalau itu terjadi pada lulusan PL, sehari setelah lulus langsung bekerja sebagai financial manager, apakah bukan pekerjaan PL? Saya juga bingung, karena katanya PL bisa kemana2. Menurut saya itu tidak masalah dalam konteks kontribusi lulusan, perbaikan hidup lulusan, atau perbaikan masyarakat, karena tidak mesti pekerjaan sesuai dengan bidang yang ditekuni di bangku kuliah. Kuliah di PL tidak mesti setelah lulus jadi planner. Tapi dari segi masa depan keprofesian bagaimana ya? Bagaimana masyarakat, beneficiary, user, dan disiplin lain bisa meningkatkan penghargaan terhadap disiplin ini jika "kekhususannya" atau identitasnya tidak jelas? Apakah "spesialis generalist" bisa mendapatkan tempat yang baik di Indonesia?

Saya sendiri akhirnya mempertanyakan juga tentang urgensi pendidikan S1 perencanaan, terutama model sekarang, untuk konteks Indonesia, di mana institusi praktek dan profesi perencanaan belum terbangun dengan baik. Saya juga mendukung perihal kejelasan arah kurikulum. Salah satu cara efektif untuk menjawab kedua masalah tsb adalah tanyakan/ survey langsung kepada user dan penerima manfaat, karena merekalah yang pada akhirnya menentukan eksistensi kita. Saya juga prihatin dan turut malu ketika ditanya oleh beberapa calon penerima kerja tentang spesialisasi saya apa? Disuruh merencana pun tidak pede karena di bangku kuliah tidak banyak diajarkan bagaimana merencana yang baik (atau sayanya saja yang kurang serius belajar, hehe). Di suruh berpolitik pun kalah saing sama lulusan FISIP, hihi.. jadi bingung.

Perencanaan memang "meta-disiplin", tetapi bukan "multi disiplin". Saya maksud meta-disiplin adalah perencanaan mengabstraksi/menghubungkan ilmu-ilmu lain lalu mengembangkan, "reframe", "reshape"-nya menjadi bentuk yang khas sesuai kebutuhan dan secara disiplin mampu berdiri otonom. Dan bukan multi disiplin, maksudnya mencampur-campur, mengumpulkan ilmu-ilmu lain tanpa membentuk identitas baru. Sehingga pada akhirnya bisa dibedakan makna/pemahaman/cara pandang/ konotasi/ penekanan: "ruang " menurut planner dengan geographer, "infrastruktur" menurut sipil dan planner, "bangunan/ lansekap" menurut arsitek dengan planner, "penduduk" menurut demographer dan planner, "pembangunan" menurut ekonom dan planner, "keadilan" menurut sosiolog dan planner, "hukum" menurut pengacara dan planner, "kebijakan" menurut policy analyst dan planner, dst. Jika ini benar adanya, maka akan tercipta komunikasi mutual dan sinergis antara planner dengan ilmu lain, bukan perang batas.

Planning or Something Else?

Seandaipun seseorang "secara sadar" melakukan tindakan perencanaan, mereka belum tentu perencana. Tidak hanya menurut IAP, tetapi menurut komunitas profesional perencanaan (termasuk pengguna) pun belum tentu sepakat, karena perlu ada proses konsistensi nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan universal perencanaan. Ini tidak dapat diperoleh secara instan, apalagi hanya dengan "ketidaksengajaan".

Namun, memang ada kalanya seorang profesional melakukan praktek pekerjaan (secara sistematis) yang bukan di bidang asalnya, tetapi bidang itu biasanya terkait. Asumsinya, mereka melakukannya dengan "sadar" (saya coba netralisasi menjadi: sistematis, acceptable secara nilai-nilai dan proses universal perencanaan). Mungkin kita masih ingat, bahwa sesungguhnya orang yang pertama kali melakukan proses survey perencanaan (ruang) secara sistematis adalah seorang dokter.

Kearifan menerima kontribusi peran profesi lain yang serumpun/ terkait bisa menjadi nilai tambah bagi profesi bersangkutan, apalagi menyimak persoalan masa sekarang yang semakin kompleks sehingga memerlukan pendekatan multidisplin. Karena pengalaman saya di dunia praktek perencanaan masih terbatas, saya berikan contoh dalam dunia akademis/ teoritis saja. (Namun, saya berhipotesis ini pun terjadi di dunia praktis). Misalnya, Bapak T. Firman merupakan akademisi perencanaan Indonesia yang paling sering muncul hasil-hasil karyanya dalam jurnal-jurnal internasional. Namun, banyak artikel/ paper nya saya perhatikan justru lebih kental sudut pandang geografi-nya, bahkan demografi. Alhasil, sebagian paper dia dimuat di jurnal-jurnal/ seminar geografi, demografi. Namun, Beliau tetap dipandang sebagai perencana. Banyak sekali contoh akademisi perencanaan lain. misalnya B. Flijvberg di jurnal sosiologi, P. Healey di jurnal politik.

Begitupun disiplin lain menulis di jurnal terkait perencanaan. Misalnya di jurnal Urban Studies (saat ini masih sebagai salah satu jurnal yang paling tinggi citation
rate/ impact- nya dalam bidang perencanaan) ternyata sebagian besar penulisnya bukan planner, tetapi multi disiplin, mulai dari geografer, ekonom, hingga ahli politik, sosiolog. Bahkan, planner terkenal sulit menembus jurnal ini.

Kesimpulannya, interaksi lintas disiplin itu biasa, dan itu tidak hanya terjadi dalam perencanaan. Namun, sebagai salah satu ilmu yang meta-disiplin, tentu interaksi ini menjadi lebih penting kedudukannya bagi perencanaan. Saya berhipotesis dalam dunia praktek komunikasi ini seharusnya lebih intensif karena persoalan lapangan lebih sulit
untuk disistematiskan/ dipilah-pilah ini milik profesi mana.

Link: previous versions have been discussed in referensi