Tuesday, December 21, 2010

Urban development: What to do and what can we expect?

Delik Hudalah and Tommy Firman
Published in the Jakarta Post, Mon, 12/20/2010, Review & Outlook 2011

City or urban areas, places where human activities are concentrated, significantly contribute to national economic achievements.

Indonesia has about 99 autonomous/administrative cities (kota) and nearly 400 regencies (kabupaten), most of which largely consist of rural areas.

The cities contribute 40-50 percent of Indonesia’s gross domestic product (GDP) (Samiadji, 2006). Urban areas also play a strategic role in improving the national fiscal performance, as a substantial amount of the state budget (APBN) is collected from taxes paid by companies and individuals who mostly reside in urban areas.

The role of urbanization in national economic development is widely recognized. However, it is important to investigate whether this trend is sustainable.

Do the benefits of urban development trickle down to other parts of the country, especially rural and poorer regions? Can urbanization in Indonesia meet the inevitable challenges of climate change and globalization?

If we look at the trend more closely, it seems that major urban development
projects in Indonesia are largely market driven and are carried out without clear shared visions. The government can make beautiful plans, on paper. Nevertheless, in many cases it is the private sector that decides whether the plans are realized.

In practice these plans cannot lead development. In fact, the plans have become the true followers of the market — partly because the rule of law is weak.

There have been many cases in which plans could be revised arbitrarily to meet private developer’s desires of creating exclusive residential estates or new towns in conservation and water catchment areas.

The role of the private sector is very decisive in determining the direction of urban growth and expansion.

In addition, many key actors in urban development, beyond private companies, tend to be marginalized. When it comes to conflicting strategic projects, community leaders and organizations, NGOs, academics and other key actors are not involved in strategic phases of the decision making process.

In short, the market effectively rules over urban development and local people are forced to become spectators.

Private developers tend to be inward looking and opportunistic in their behavior. This results in fragmentation of urban development, especially in suburbs. Many housing development projects are not supported by necessary urban infrastructure and facilities. Different projects are not well-connected with each other. The rich are isolated and increasingly segregated from the poor.

Given these conditions, urban development in Indonesia currently faces a multitude of problems. At the regional scale, the competitiveness of Indonesian cities is lower than other major cities in Southeast Asia.

This is because urban development in Indonesia occurs spontaneously and is not supported by integrated infrastructure and amenities.

As an illustration, the Mercer 2010 Cost of Living Survey ranks Jakarta 214 among the most expensive cities in the world. Expatriates in Jakarta have to spend more money to cover housing, transport, food, clothing, household goods and entertainment for standards found in Bangkok and Kuala Lumpur.

At the national scale, urban development is increasingly concentrated around large or metropolitan cities, especially Jakarta, Surabaya, Bandung, and Medan.

The current sectoral policy tends to be urban-biased, focused on infrastructure development in large cities in Java, especially Jakarta, instead of medium sized cities. The maintained urbanization of economies in Java encourages most investors to concentrate on these cities.

This development gap has created a huge economic disparity between large and small cities. Statistical figures imply that 30 percent of the national GDP comes from the 14 largest cities. It is also revealed that 50 percent of national revenue is abstracted from these largest cities alone.

At the local level, most of these cities cannot provide good basic services for their citizens. Traffic gridlock is a daily problem for major cities in Indonesia. This is due to the uncontrolled number of vehicles and limited capacity of local government to build new roads.

More importantly, public transportation is poorly managed and has not been given priority by most local governments. As the result, public transportation has become a source of, instead of a solution to traffic problems.

Green open spaces in major cities, especially in Java, is also lacking. In Jakarta, for example, the proportion of green open space is 9.6 percent. Bandung municipality can only dedicate 8.8 percent of its total area for green open space.

This means the cities have not been able to meet the spatial planning law requirement to allocate at least 30 percent of their total area for green open space.

In addition, with more than 17,000 islands, most major Indonesian cities are located in coastal zones. Most of these cities, including Jakarta, have not prepared to face the pressing challenges of climate change, such as rising sea levels, extreme weather and rising temperatures.

In fact, excessive urban development and uncontrolled use of ground water have increased both the occurrence and impacts of disasters, including floods, sea induced floods and land sinkage.

Urbanization is inevitable, especially in a developing country such as Indonesia. The question is, can we handle it? In order to meet the current and future demands to create more sustainable, livable and competitive cities, urban development in this country has to be more balanced.

Urban development needs to be encouraged in small and medium cities, especially outside Java. At the local level, provision of basic services, such as public transport, green spaces and flood control, should be prioritized.

Besides, urban governance, including metropolitan management and inter-local cooperation, should be strengthened to face urban development issues that are becoming increasingly more complex.

Thursday, October 21, 2010

MRT: Angkutan perkotaan masa depan?

Delik Hudalah dan Yudistira Pratama
Diterbitkan di Buletin Tata Ruang edisi September-Oktober 2010

Apakah itu MRT?

MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan menjadi beberap jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail.

Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan biasa dan kendaraan lain karena biasanya merupakan shuttle bus yang memiliki rute perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur khusus, sehingga sering disebut buslane/busway. Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway.

MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat perbedaan karena subway terletak di bawah tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda angkutan yang sangat populer dan seringkali dikenal dengan istilah metro system. Kota London merupakan kota pertama yang menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada tahun 1863.

Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail.

Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan monorail. Berbeda dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute dengan sistem lintasan loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang menghubungkan dengan MRT lainnya maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu. Penggunaan monorail sudah banyak dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.

Di mana MRT sukses diterapkan?

Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negara-negara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem transportasi umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang dan barang dari satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam melakukan perpindahan dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi waktu tempuh perjalanan. Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak hanya berfungsi sebagai sarana angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal untuk mengarahkan perkembangan kota besar.

Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai sistem terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai “urat nadi” pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di Singapura terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di Singapura dan semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga penumpang dapat mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu, sistem ini juga terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang untuk mengakses lokasi yang tidak terhubung oleh sistem monorail.

Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun dengan panjang lintasan keseluruhan sepanjang 129,7 km. Kemudahan lain dari MRT ini ialah adanya sistem fares and ticketing yang mudah dan murah. Sistem pembayaran tiket dilakukan dengan mempergunakan kartu prabayar yang sudah terisi sejumlah uang maupun uang logam. Keunggulan sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali membayar pada saat masuk sehingga memberikan kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda, maupun keluar menuju tujuan akhir. Sistem ini dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan yang khusus menagani masalah fare and ticketing MRT di Singapura.
Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002 yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap dua dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan ruang terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan yang terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang sekitar 35-40 ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak pengelola memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua lajur, sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya sedang berhenti.

Suatu keniscayaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan perangkutan memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian kota-kota besar di Indonesia. Permintaan akan perangkutan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan permintaan akan barang dan jasa. Permintaan layanan perangkutan juga akan semakin meningkat seiring dengan semakin besarnya jumlah penduduk. Karena ruang yang terbatas, kota-kota besar seperti Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pergerakan penduduk hanya melalui penambahan jalan dan angkutan umum berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas tertentu di mana pergerakan kendaraan menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi tersebut semakin parah dengan munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan gangguan kondisi kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu yang dihabiskan di jalan dapat menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan ketidakstabilan emosi dan dampak ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja.

Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.

Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan di kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai sarana transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi yang benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi.
Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway misalnya telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam waktu yang relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel (KRL) yang sudah ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu usaha untuk menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan penambahan jalan dengan kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek sebelumnya, DKI Jakarta berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum terealisasi hingga sekarang karena terkendala penyediaan dana.

Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak akibat semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar dapat dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut. Memang lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya, kita harus siap menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan MRT seperti busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari keterlambatan yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari atas, belum asli berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan langsung manfaat MRT adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah pusat.

Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan mutakhir dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di Indonesia. Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang lebih besar, MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti untuk keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan dibangun membentang dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta Pusat sepanjang 14,5 km. Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah tanah dan 10,5 km dibangun melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1 dari rencana 3 tahap pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke Kota; dan tahap 3 adalah jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3 saat ini sedang dalam pembuatan feasibility study.

Benturan gaya hidup


"Serba Salah
Nafasku Terasa Sesak
Berimpitan Berdesakkan
Bergantungan
Memang Susah
Jadi Orang Yang Tak Punya
Kemanapun Naik Bis Kota"


Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum, apalagi yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang miskin. Jika tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi momok bagi pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan.

Masyarakat Indonesia pada umumnya masih berpandangan bahwa menggunakan kendaraan pribadi merupakan simbol yang dapat secara efektif menunjukkan kekayaan, status sosial, dan martabat seseorang. Cara pandang ini tidak terlepas dari berkembangnya perilaku konsumerisme dan individualisme yang telah lama menggantikan norma kesederhanaan, tenggang rasa, dan kesetiakawananan sosial yang dulu dikenal sebagai Adat Timur. Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup liberal dari negara-negara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya melalui film-film dan produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi. Gemerlap kehidupan artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan pinggiran telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi materi. Kegiatan menglaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan penggunaan kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri.

Di Indonesia, angkutan umum khususnya massal tidak hanya belum digemari masyarakat, bahkan masih dianggap sebagai salah satu biang persoalan perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu rel, seringkali yang disalahkan adalah perusahaan kereta api karena dianggap tidak mampu menjamin keamanan pengendara mobil atau, yang lebih parah lagi kereta api itu sendiri sudah dicap sebagai angkutan yang membahayakan keselamatan masyarakat. Baru-baru ini, pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika kita mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.

Mungkin pola pikir seperti ini pulalah yang secara berangsur telah menyebabkan punahnya tram yang dulu pada zaman pendudukan Belanda cukup diandalkan sebagai sarana angkutan massal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Semarang. Kondisi ini sungguh ironi karena di negara-negara asalnya pemerintah justru rela menggelontorkan subsidi dalam jumlah yang besar untuk menjamin kelangsungan hidup tram ini.
Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan tetapi menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum MRT berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai cerminan moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal budaya seperti ini, tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT, sebagai moda transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.

Rekomendasi: Membudayakan MRT

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap MRT? Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan kepemimpinan yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang otoriter. Pemimpin yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakatnya. Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan umum. Para pejabat juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan lokasi permukiman yang masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan umum.

Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di ruas-ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis atau sekedar memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas dari berbagai keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap dalam jangka panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.

Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat luas akan lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara konsisten mengelola dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang tinggi dan subsidi BBM yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat mengalihkan dana yang ada untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya. Pembangunan rel kereta api misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung dengan jalan tol.

Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu, pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang handal yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman. Pemerintah juga perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan halte-halte dengan pusat-pusat kegiatan. Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat kegiatan baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai sarana angkutan skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi skala wilayah maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengembangkan simpul-simpul penghubung antar-moda seperti pengembangan halte MRT yang dipadukan dengan pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau bahkan bandar udara dan pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya memanfaatkan teknologi otomatis seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna.

Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang sederhana seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di suatu kota, program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti monorail, tram, atau subway.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga kerja dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas, bantuan permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.

Wednesday, September 22, 2010

Planning by opportunity: an analysis of periurban environmental conflicts in Indonesia

Published in Environment and Planning A

Delik Hudalah, Haryo Winarso, Johan Woltjer

Abstract. In this paper we seek to extend ideas about communicative planning and capacity building in collective action. In doing so, we combine political opportunity structure and Kingdon’s policy window in order to develop an agency-centered approach to opportunity. We argue that we need to see the moments and structures of opportunity not simply as fixed, but as something that actors can ‘make’. The moments of opportunity refer to the dynamic, emerging factors of opportunity. Meanwhile, the structures of opportunity consist of relatively consistent, stable factors of opportunity. This theoretical insight is then applied to two debates on development planning projects in the periurban area of North Bandung Area (Kawasan Bandung Utara), Indonesia. Three aspects of institutional capacity result from the practice of ‘constructing’ opportunity in the case study: mobilization of social resources, empowerment of weak actors, and focusing of politicians and policymakers’ attention.

Keywords: political opportunity structure, Kingdon, institutional capacity, North Bandung Area